Dipublikasikan 17 November 2025
Pernah nggak sih kamu lagi scroll berita dan nemu fakta yang bikin kamu mikir keras? Nih, ada satu statistik yang bener-bener mindblowing: diprediksi tahun 2026 (yup, tahun depan!), 90% kode bakal di-generate sama AI. Bukan 20%. Bukan setengah. Sembilan puluh persen. Gila, kan? Kebayang lagi mikir: “Masih penting nggak ya belajar framework baru yang kemarin gue bookmark?” Sekarang AI udah di mana-mana. Di 2024, devs nulis 256 miliar baris kode. Proyeksi tahun 2025? 600 miliar baris kode! Lonjakan segede itu jelas bukan karena tangan kita makin ngebut ngetik. Jawabannya? AI nulis kode. Di semua tempat. Buat semua orang. Dan sadar nggak sadar, kita semua jadi bagian dari perubahan ini.
Pake GitHub Copilot tiap hari? ChatGPT buat debug error random? Claude buat ngingetin TypeScript generics? Sama, gue juga. Tapi ketika 90% kode ditulis AI, ini bukan sekadar bantuan lagi—ini bener-bener jadi pengganti. Mari kita ngulik apa artinya semua ini buat profesi software developer.
Job opening tech makin jarang. Bukan karena software nggak dibutuhin—justru makin banyak. Tapi manpower buat nulis kode? AI yang ambil jatah itu sekarang. Ini data beneran, bukan prediksi—dan udah kejadian di 2025.
Kebayang AI langsung nulis satu aplikasi dari nol sampai deploy? Nggak juga. Faktanya, begini cara AI menyumbang 90% kode di workflow modern:
Kalau ditotal, masuk akal kenapa 90% kode honestly ditulis AI. Tapi, jadi masalah besar nih: semua tugas yang ngajarin kita jadi developer senior, diambil alih AI. Kalau dulu belajar dari nulis boilerplate & debugging, sekarang semua proses belajarnya "skip". Jadi, generasi baru developer belajarnya dari mana dong?
Gini skenario rekrutmen sekarang: - Buka lowongan junior dev → 500 lamaran dalam 24 jam. Setengah CV-nya hasil generate AI, tapi nggak bisa ngoding waktu interview. - Senior dev? Apply 1000 orang, padahal satu tim butuhnya hanya satu karena "tim 3 orang cukup diganti 1 plus AI". Banyak perusahaan bilang ini "hiring freeze". Artinya? Lagi cari tahu, berapa banyak developer yang bisa diganti AI.
Gue sendiri udah nulis JavaScript & TypeScript 8 tahun, tapi sekarang ngerasa lebih sering ngetik prompt Copilot daripada nulis kode manual. Efeknya? Semua orang jadi AI prompt engineer, bukan lagi "coder" konvensional. Pertanyaannya: kalau AI yang nulis kode, masih pantaskah kita dibilang developer?
Kita sering denger, "AI Cuma membantu, nggak menggantikan". Tapi faktanya, entry-level job makin hilang. AI sekarang bisa ngerjain semua grunt work junior dev, lebih murah & lebih cepat. Jadi buat apa hire fresh grad?
Sepuluh tahun dari sekarang, siapa yang bakal jadi senior kalau nggak ada junior di tahun ini?
Yes, AI emang cepet generate code, tapi kualitasnya rada serem! Data terbaru nunjukkin churn rate (kode direvisi atau dihapus dalam 2 minggu) melonjak 2x lipat. Kenapa? Karena kode AI sering harus diperbaiki. Kasus duplicacy? Naik 4x karena AI suka copas pattern. Security issue? Sekitar 30% AI code ada vulnerability-nya.
Intinya: kita ngirim kode yang lebih riskan, data bocor pun makin sering. Teknologi ngebut, tapi siapa yang bakal ngeberesin technical debt 5 tahun ke depan?
Masih ga? Ini skill yang (mungkin) tetap berharga walaupun AI mendominasi coding:
Tapi jujur aja, AI makin lama makin jago. Yang belum bisa sekarang, entar juga bisa. Jadi, skill masa depan = adaptasi super ngebut.
Kita di persimpangan penting. Mau jadi developer yang embrace AI, atau nostalgia sama kode manual? Sayangnya, dunia bisnis nggak sabar nunggu kamu. Kalau coding kamu kalah cepet sama AI, sorry to say—gampang tergeser.
Role baru kayak AI Code Auditor bakal muncul: spesialis buat review code buatan AI. Akhirnya, definisi developer ikut berubah. Bukan lagi tukang ngetik kode, tapi arsitek & orchestrator AI.
Pertanyaannya bukan lagi “apakah AI bakal gantiin developer?” Tapi: Kamu mau jadi tipe developer kayak apa di dunia yang 90% kodenya buatan AI? Gue sendiri kadang excited, kadang insecure. Ada hari gue seneng ngerasain produktivitas naik tajam. Ada hari was-was jadi manusia yang cuman ngetik prompt.
Satu hal pasti: duduk diam bukan opsi. Stat 90% AI code itu bukan warning—itu realita dunia dev hari ini. Siapa yang survive? Developer yang bawa value di sisa 10%. Judgment, kreativitas, paham bisnis, dan—nggak kalah penting—hubungan antar manusia.
Jujur ya, gue nggak punya jawaban pasti harus pro-atau anti-AI. Yang jelas: AI generation ngebuat gue makin produktif, tapi juga ngerusak jalur belajar, ningkatin technical debt, dan push semua ke arah baru. Ini messy, penuh ketidakpastian, dan kadang serem juga.
Jadi, yuk ngobrol. Kamu pake AI buat coding? Lebih seneng, atau deg-degan jadi obselet? Drop pendapat kamu di komen. Saatnya ngobrol jujur, siapa tahu kita bisa bareng-bareng cari jalan di tengah tsunami AI coding ini.