Lukman
Lukman

Dipublikasikan 15 Agustus 2025

Gig Economy: Kenapa Perusahaan Suka Freelancer

Beberapa hari yang lalu saya melihat konten video yang cukup bagus di youtube. Disana dibahas kenapa perusahaan sekarang lebih suka freelancer. Di tengah lonjakan platform digital dan aplikasi on-demand, istilah “gig economy” kini merambah hampir semua sektor, bukan hanya desain grafis atau content creator, tapi juga sopir, tukang bersih-bersih, hingga analis data. Banyak narasi yang beredar: negara gagal melindungi pekerja, atau perusahaan sengaja menekan upah. Keduanya benar, tapi terlalu sering membuat kita terjebak menunggu “pihak yang jahat” berubah. Artikel ini menawarkan jalan keluar: melihat gig economy sebagai titik awal pekerja, bukan negara atau korporasi, mengambil kendali.

1. Pekerjaan Kini Terpotong-potong

Dulu satu orang menyelesaikan satu proyek utuh. Sekarang, satu proyek diiris menjadi puluhan micro-task. Perusahaan menyebutnya efisiensi. Pekerja menyebutnya incaran biaya hidup.

Perubahan ini bukan kebetulan.

  • Biaya tenaga turun karena hanya dibayar per-tugas.
  • Biaya sosial lenyap: pesangon, BPJS, tunjangan, semua dihapus.
  • Biaya reproduksi ide, waktu healing, trial-error, dipindahkan ke pundak pekerja.

2. Modal Takut 2 Hal

Modal bukan makhluk emosional, tapi ia punya rasa takut yang jelas:

Kalau dua risiko ini bisa ditekan, profit aman.

3. Reproduktif yang Ternyata Produktif

Istirahat, scroll TikTok, nonton review film, semua terlihat buang waktu. Padahal itu mesin bahan bakar kreativitas. Sayangnya, bahan bakar ini tidak dibayar. Platform justru memanennya:

  • Portofolio harus ramai → kita dipaksa bikin aset di luar jam kerja.
  • Tren harus diikuti → kita harus up-to-date tanpa kompensasi. Ibaratnya kita disuruh isi bensin sendiri supaya mobil perusahaan bisa jalan.

4. Lima Langkah Praktis Keluar dari Jerat

  1. Bikin grup kecil se-skill - Mulai dari tiga orang saja, tapi jadwal rapat mingguan tetap on calendar.
  2. Tabel harga terbuka - Google Sheets sederhana: jenis layanan, harga dasar, catatan klien “pelit”. Bagikan link ke sesama pekerja baru.
  3. Kumpulkan war chest - Patungan iklan Instagram. Dua minggu campaign untuk satu produk digital. Hasil dibagi berdasarkan kontribusi jam kerja.
  4. Toko koperasi daring - Pakai Gumroad atau Ko-fi: jual font, preset Lightroom, template Notion. Pendapatan masuk rekening bersama, dipakai untuk software tahunan.
  5. Literasi finansial kolektif - Rotasi mingguan: satu orang riset pajak, satu orang riset asuransi kesehatan swasta, satu orang cek kurs crypto stabil. Catat semua di Notion.

5. Studi Kilat: “Bengkel Desain #4”

  • Anggota: 7 desainer UI di tiga kota.
  • Modal awal: Rp 2 juta patungan untuk iklan LinkedIn.
  • Hasil 6 bulan: – Rata-rata fee naik 40 %. – Bisa menolak 3 klien yang minta revisi tanpa batas. – Sisihkan dana emergency 3 bulan untuk anggota yang sakit.

Penutup: Kreativitas Tidak Bisa Dikunci

Platform akan terus memperpendek kontrak. Pemerintah akan terus menunda aturan. Tapi kreativitas, yang lahir dari kebosanan, dari diskusi warung kopi, dari playlist Spotify, tetap tidak bisa diasetkan utuh. Mulai sekarang, buat grup chat, undang dua teman seprofesi, dan ketik: “Guys, tarif kita mulai hari ini sama, OK?”